Menjama Dua Shalat Dalam Perjalanan
MENJAMA’ DUA SHALAT DALAM PERJALANAN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam
Karena perjalanan menimbulkan banyak kesulitan, maka Allah membuat beberapa rukhshah dalam ibadah, sebagai kemudahan bagi hamba-hambaNya dan rahmat atas mereka. Di antara rukshah itu ialah diperbolehkannya menjama’ bagi orang yang mengadakan perjalanan. Karena boleh jadi dia masuk waktu shalat tapi mengalami satu dua hambatan dalam perjalanannya.
Diperbolehkan baginya manjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar dalam salah satu waktu di antara keduanya, menjama’ shalat Maghrib dengan Isya’ dalam salah satu waktu di antara keduanya. Semua ini merupakan keluwesan syariat yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudahannya, yang berarti merupakan karunia dari Allah, agar tidak ada keberatan dalam agama.
“Artinya : Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama antara Zhuhur dan Ashar jika berada dalam perjalanan, juga menjama antara Maghrib dan Isya” [1]
MAKNA HADITS
Di antara kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengadakan perjalanan, apalagi di tengah perjalanan, maka beliau menjama’ antara shalat Zhuhur dan Ashar, entah taqdim entah ta’khir. Beliau juga menjama antara Maghrib dan Isya, entah taqdim entah ta’khir, tergantung mana yang lebih memungkinkan untuk dikerjakan dan dengan siapa beliau mengadakan perjalanan. Yang pasti, perjalanan ini menjadi sebab jama’ dan shalat pada salah satu waktu di antara dua waktunya karena waktu itu merupakan waktu bagi kedua shalat.
PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN ULAMA
Para ulama saling berbeda pendapat tentang jama’ ini. Mayoritas shahabat dan tabi’in memperbolehkan jama’, baik taqdim maupun ta’khir. Ini juga merupakan pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ats-Tsaury. Mereka berhujjah dengan hadits-hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, begitu pula hadits Mu’adz, bahwa jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat sebelum matahari condong, maka beliau menjama shalat Zhuhur dan Ashar pada waktu shalat Ashar. Beliau mengerjakan keduanya secara bersamaan. Tapi jika beliau berangkat sesudah matahari condong, maka beliau shalat Zhuhur dengan Ashar, lalu berangkat. Jika beliau berangkat sebelum Maghrib, maka belaiu menunda shalat Maghrib dan mengerjakannya bersama shalat Isya. Jika beliau berangkat sesudah masuk waktu Maghrib, maka beliau mengerjakan shalat Isya bersama shalat Maghrib. [Diriwayatkan Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidizy]
Sebagian Imam menshahihkan hadits ini. Sementara yang lain mempermasalahakannya. Asal hadits ini ada dalam riwayat Muslim tanpa menyebutkan jama taqdim.
Sementara Abu Hanifah dan dua rekannya. Al-Hasan dan An-Nakha’y tidak memperbolehkan jama’. Mereka menakwil hadits-hadits tentang jama’, bahwa itu merupakan jama’ imajiner. Gambarannya, menurut pendapat mereka, beliau mengakhirkan shalat Zhuhur hingga akhir waktunya lalu mengerjakannya, dan setelah itu mengerjakan shalat Ashar pada awal waktunya. Begitu pula untuk shalat Maghrib dan Isya.
Tentu saja ini tidak mengenai dan bertentangan dengan pengertian lafazh jama’, yang artinya menjadikan dua shalat di salah satu waktu di antara dua waktunya, yang juga ditentang ketetapan jama’ taqdim, sehingga menafikan cara penakwilan seperti itu. Al-Khaththaby dan Ibnu Abdil Barr menyatakan jama’ sebagai rukhshah. Mengerjakan dua shalat, yang pertama pada akhir waktunya dan yang kedua pada awal waktunya, justru berat dan sulit. Sebab orang-orang yang khusus pun sulit mencari ketetapan waktunya. Lalu bagaimana dengan orang-orang awam ?
Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Malik menyatakan, yang boleh dilakukan ialah jama’ ta’khir dan tidak jama’ taqdim. Mereka menanggapi hadits-hadits yang dikatakan sebagian ulama, yang dipermasalahkan.
Mereka juga saling berbeda pendapat tentang hukum jama’. Asy-Syafi’i, Ahmad dan jumhur berpendapat, perjalanan merupakan sebab jama’ taqdim dan ta’khir. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari Malik. Pendapat Malik dalam riwayat yang masyhur darinya, pengkhususan darinya, pengkhususan jama’ pada waktu dibutuhkan saja, yaitu jika sedang mengadakan perjalanan. Ini juga merupakan pilihan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim. Menurut Al-Bajy, ketidaksukaan Malik terhadap jama’, karena khawatir jama’ inmi dilakukan orang yang sebenarnya tidak mendapat kesulitan. Adapun pembolehannya jika mengadakan perjalanan, didasarkan kepada hadits Ibnu Umar.
Abu Hanifah tidak memperbolehkan jama’ kecuali di Arafah dan Muzdalifah, karena untuk keperluan manasik haji dan bukan karena perjalanan.
Jumhur berhujjah dengan hadits-hadits yang menyebutkan jama’ secara mutlak tanpa ada batasan perjalanan, ketika singgah atau ketika mengadakan perjalanan. Begitu pula yang disebutkan di dalam Al-Muwaththa’ dari Muadz bin Jabal, bahwa pada Perang Tabuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat, kemudian keluar shalat Zhuhur dan Ashar bersama-sama, kemudian masuk dan keluar lagi untuk shalat Maghrib dan Isya’. Menurut Ibnu Abdil Barr, isnad hadits ini kuat. Asy-Syafi’y menyebutkannya di dalam Al-Umm. Menurut Ibnu Abdul Barr dan Al-Bajy, keluar dan masuknya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa beliau sedang singgah dan tidak sedang dalam perjalanan. Ini merupakan penolakan secara tegas terhadap orang yang menyatakan bahwa beliau tidak menjama’ kecuali ketika mengadakan perjalanan.
Dalil Al-Imam Malik, Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim ialah hadits Ibnu Umar, bahwa jika beliau mengadakan perjalan, maka beliau menjama’ Maghrib dan Isya’, seraya berkata : “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perjalanan, maka beliau menjama keduanya”.
Tapi menurut jumhur, tambahan bukti dalam beberapa hadits yang lain layak untuk diterima. Bagaimanapun juga, bepergian mendatangkan banyak kesulitan, baik ketika singgah maupun ketika dalam perjalanan. Rukhshah jama’ tidak dibuat melainkan untuk memberikan kemudahan didalamnya.
Ibnul Qayyim di dalam Al-Hadyu, menjadikan hadits Mu’adz dan sejenisnya termasuk dalil-dalilnya, bahwa rukhshah jama’ tidak ditetapkan melainkan ketika mengadakan perjalanan (bukan ketika singgah). Adapun pendapat Abu Hanifah tertolak oleh berbagai hadits yang shahih dan jelas maknanya.
FAIDAH HADITS
[1]. Seperti yang disebutkan pengarang tentang jama’ karena perjalanan, maka disana ada beberapa alasan selain perjalanan yang memperbolehkan jama’, di antaranya hujan. Al-Bukhary meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ Maghrib dan Isya’ pada suatu malam ketika turun hujan. Jama’ ini dikhususkan untuk Maghrib dan Isya’, bukan untuk Zhuhur dan Ashar. Namun ulama lain membolehkannya juga, di antaranya Al-Imam Ahmad dan rekan-rekannya.
Begitu pula alasan sakit. Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama’ Zhuhur dan Ashar, Mgahrib dan Isya’ bukan karena takut dan hujan. Dalam riwayat lain disebutkan, bukan karena takut dan perjalanan. Tidak ada sebab lain kecuali sakit. Banyak ulama yang memperbolehkannya, di antaranya Malik, Ahmad, Ishaq dan Al-Hasan. Ini juga merupakan pendapat segolongan ulama dari madzhab Syafi’y, seperti Al-Khaththaby dan ini juga merupakan pilihan An-Nawawy di dalam Shahih Muslim. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa Al-Imam Ahmad menetapkan pembolehan jama’ bagi orang yang terluka dank arena kesibukan, yang didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan tentang masalah ini. Ada pula yang menetapkan pembolehan jama’ bagi wanita istihadhah, karena istihadhah termasuk penyakit.
[2]. Batasan perjalanan yang menyebabkan pembolehan jama’ diperselisihkan para ulama. Asy-Syafi’i dan Ahmad menetapkan lama perjalanan selama dua hari hingga ke tujuan, atau sejauh enam belas farskah.[2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menetapkan pilihan bahwa apa pun yang disebut dengan perjalanan, pendek atau jauh, diperbolehkan jama’ didalamnya. Jadi tidak diukur dengan jarak tertentu. Menurut pendapatnya, di dalam nash Al-Kitab dan As-Sunnah tidak disebutkan perbedaan antara jarak dekat dengan jarak jauh. Siapa yang membuat perbedaan antara jarak dekat dan jarak jauh, berarti dia memisahkan apa yang sudah dihimpun Allah, dengan sebagian pemisahan dan pembagian yang tidak ada dasarnya. Pendapat Syaikhul Islam ini sama dengan pendapat golongan Zhahiriyah, yang juga didukung pengarang Al-Mughny.
Ibnul Qayyim menyatakan di dalam Al-Hadyu, tentang riwayat yang membatasi perjalanan sehari, dua hari atau tiga hari, maka itu bukan riwayat yang shahih.
[3]. Menurut jumhur ulama, meninggalkan jama’ lebih utama daripada jama’, kecuali dalam dua jama’, di Arafah dan Muzdalifah, karena disana ada kemaslahatan.
KESIMPULAN HADITS
[1]. Boleh menjama shalat Zhuhur dengan Ashar, shalat Maghrib denan Isya’
[2]. Keumuman hadits menimbulkan pengertian tentang diperbolehkannya jama’ taqdim dan ta’khir antara dua shalat. Beberapa dalil menunjukkan hal ini seperti yang sudah disebutkan di atas.
[3]. Menurut zhahirnya dikhususkan saat mengadakan perjalanan. Diatas telah disebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dan dalil dari masing-masing pihak. Menurut Ibnu Daqiq Al-Id, hadits ini menunjukkan jama’ jika dalam perjalan. Sekiranya tidak ada hadits-hadits lain yang menyebutkan jama’ tidak seperti gambaran ini, tentu dalil ini mengharuskan jama’ dalam kondisi yang lain. Diperbolehkannya jama’ di dalam hadits ini berkaitan dengan suatu sifat yang tidak mungkin diabaikan begitu saja. Jika jama’ dibenarkan ketika singgah, maka pengamalannya lebih baik, karena adanya dalil lain tentang pembolehannya diluar gambaran ini, yaitu dalam perjalanan. Tegaknya dalil ini menunjukkan pengabaian pengungkapan sifat ini semata. Dalil ini tentu tidak dapat dianggap bertentangan dengan pengertian di dalam hadits ini, karena pembuktian pembolehan apa yang disampaikan di dalam gambaran ini secara khusus, jauh lebih kuat.
[4] Hadits ini dan juga hadits-hadits lainnya menunjukkan bahwa jama’ dikhususkan untuk shalat Zhuhur dengan Ashar, Mgahrib dengan Isya, sedangkan Subuh tidak dapat dijama’ dengan shalat lainnya.
[Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah]
_______
Footnote
[1]. Ini lafazh Al-Bukhary dan bukan Muslim, seperti yang dikatakan Abdul haq yang menghimpun Ash-Shahihain. Ibnu Daqiq Al-Id juga mengingatkan hal ini. Mushannif mengaitkan takhrij hadits ini kepada keduanya, karena melihat asal hadits sebagaimana kebiasaan para ahli hadits, karena Muslim mentakhrij dari riwayat Ibnu Abbas tentang jama’ antara dua shalat, tanpa mempertimbangkan lafazhnya. Inilah yang telah disepakati bersama. Menurut Ash-Shan’any. Al-Bukhary tidak metakhrijnya kecuali berupa catatan. Hanya saja dia menggunakan bentuk kalimat yang pasti
[2]. Satu farskah sama dengan empat mil. Satu mil sama dengan satu setengah kilometer. Enam belas farsakh sama dengan enam puluh emapt mil, atau sama denan sembilan puluh enam kilometer.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1688-menjama-dua-shalat-dalam-perjalanan.html